Hal ini di tandai dengan semakin banyaknya aturan aturan radikal yang di keluarkan para penguasa negeri ini, yang meyakini bahwa penerapan Hukum bernuansa radikal dapat menangkal segala jenis penyakit moral yang telah meracuni mentalitas masyarakat kita.
Bagi bangsa yang sedang bergerak maju seperti yang dialami banyak negara di dunia saat ini, fenomena degradasi moral itu sendiri sebetulnya adalah hal yang sangat lazim dan dapat terjadi dalam komunitas masyarakat manapun. Tapi yang menarik dan seringkali menimbulkan problema lebih kompleks selanjutnya adalah bagaimana respon atau cara yang di gunakan suatu Negara atau komunitas masyarakat tertentu dalam menyikapi dan mencari solusi terhadap persoalan-persoalan moral yang terjadi?
Dalam suatu komunitas religius yang fanatik terhadap doktrin-doktrin keagamaan, maka solusi yang di tawarkan adalah dengan kembali ke ajaran Agama– yang dimaksudkan dengan Agama disini adalah teks-teks tradisional keagamaan yang tersebar dalam kitab-kitab klasik. Dalam pandangan mereka dengan kembali pada ajaran ajaran klasik keagamaan maka segala persoalan akan teratasi dengan sendirinya. Hal ini senada dengan apa yang di ungkapkan oleh Taufik Adnan Amal dan Syamsul Rizal Panggabean (Taufik Adnan Amal dan Syamsul Rizal Panggabean, 2004,181) bahwa salah satu faktor pendorong di berlakukannya Syariat Islam di banyak tempat adalah karena pola pikir masyarakat yang menggunakan pendekatan quick fix, yakni terapkan syariat semua beres! dengan demikian apapun persoalan yang di hadapi suatu Negara maka semua itu akan menjadi persoalan sederhana yang akan terselesaikan dengan segera.
Karena itu tidaklah mengherankan jika kualitas ketaatan seseorang atau kelompok tertentu dalam pandangan para fanatikus teks (skripturalis) ini di ukur dari sejauh mana seseorang atau kelompok tersebut dapat bertindak dan menyesuaikan diri sepenuhnya dengan apa yang tertulis dalam teks-teks sakral keagamaan. Jika kita amati sekilas memang sejauh ini tidak menjadi persoalan yang begitu mengkhawatirkan ketika kita menggunakan teks-teks klasik untuk di jadikan sandaran utama dalam mengatasi berbagai persoalan hidup, namun yang menjadi persoalan adalah seringkali dalam proses memahami dan menafsirkan teks-teks keagamaan maupun tradisi-tradisi yang di duga kuat berasal dari Nabi SAW hak-hak dasar kemanusiaan justru terabaikan demi menjaga otentisitas teks-teks sakral tersebut.
Kemanusiaan berada di bawah otoritas teks yang tak boleh ada satupun dari tindakan manusia yang bertentangan dengannya meski atas nama kemanusiaan sekalipun. Padahal kemaslahatan manusia adalah hal mutlak yang harus di penuhi sebab ia merupakan sesuatu yang telah jelas, selalu hidup, dan diakui oleh semua manusia di segala zaman, sedangkan teks ia tak pernah terlepas dari justifikasi (pembenaran) yang berasal dari masing-masing pendukungnya (mazhab), lahir dari seputar tradisi-tradisi yang mengilhami mereka (mazhab-mazhab).
Persoalan inilah yang mendasari titik fokus kajian Hukum Najmuddin At-Tufi (675 H/1276 M), seorang Ulama yang telah mempopulerkan kajian Hukum yang lebih memprioritaskan kemaslahatan manusia diatas seluruh teks-teks sakral religius. Atas dasar pandangan kontroversial ini pula yang membuatnya di Hukum oleh Penguasa Negeri Mesir pada zamannya karena At-Tufi di anggap telah melawan arus dan menentang mazhab Hukum yang mendapat legitimasi penguasa ketika itu.
Namun bagaimanapun juga menurut penulis banyak dari pandangan-pandangan At-Tufi ini yang dapat kita ambil intisari pemikirannya sebagai bahan perbandingan yang layak dalam rangka mengakhiri sindrom radikalisasi hukum yang tengah berlangsung di Aceh saat ini. Karena itu dalam artikel ini penulis mencoba lebih banyak mengangkat pokok-pokok pikiran At-Tufi dalam kajian tentang Mashlahah yang di nukil oleh Abdallah M Al-Husayn Al-Amiri (Abdallah M Al-Husayn Al-Amiri, 2004).
Kemaslahatan Manusia Sebagai Tujuan Utama Islam
Dalam pandangan At-Tufi, perlindungan terhadap kemaslahatan manusia adalah tujuan utama dari Agama Islam atau sumber utama tujuannya (qutb maqsud as syari). Dalam arti yang lebih luas dapat di sebutkan bahwa ketentuan-ketentuan Hukum dari teks teks yang menjadi sumber Hukum mazhab-mazhab tradisional Hukum Islam yang apabila ketentuan tersebut dinilai dapat menimbulkan kerugian bagi kemaslahatan manusia maka hal itu semua harus dikesampingkan demi mencegah kerugian yang lebih serius karena bertentangan dengan tujuan asasi dari Agama Islam itu sendiri, yakni melindungi kemaslahatan manusia sekaligus menolak kerugian yang ditimpakan atasnya.
Sedangkan Teks sebagaimana di ungkapkan At-Tufi tak di ragukan lagi bahwa terdapat pertentangan dalam teks-teks sakral keagamaan tersebut (mukhtalifah mutaaridah) dan khusus untuk teks sunnah ia bahkan bertentangan dalam dirinya sendiri. Hal ini dapat di maklumi sebab menurut At-Tufi para pengikut masing-masing mazhab Hukum tradisional telah menisbatkan format-format hadits kepada Nabi yang tingkat validitas perawinya disesuaikan dengan klaim masing-masing mazhab. Dimana masing-masing mazhab mengklaim bahwa perawinyalah yang paling valid dalam merawi hadits, pada kenyataannya sebagaimana yang pernah dialami oleh At-Tufi sendiri, bahwa teks-teks sakral yang diduga kuat berasal dari Nabi itu dibuat untuk membela dan mengunggulkan para imamnya masing-masing dan sekaligus untuk mencela imam yang lain dengan superioritas yang dimiliki masing-masing kelompok (mazhab). Sebab itu pula,dalam banyak literatur sejarah kita akan mendapati begitu banyak kekacauan yang terjadi sebagai akibat dari pertentangan-pertentangan antar mazhab, konspirasi-konspirasi tak bermoral yang mengakibatkan salah satu diantara mereka yang saling berbeda harus mengalami nasib tragis.
Fakta inilah yang mengantarkan At-Tufi untuk berkesimpulan bahwasanya teks-teks sakral yang mungkin di perdebatkan adalah tidak valid untuk di jadikan sumber hukum, apalagi untuk dikatakan sebagai sumber hukum mutlak yang tak dapat terbantahkan. Berkaitan dengan persoalan Hukum yang berorientasi pada kemaslahatan manusia itu sendiri sangat mungkin di capai oleh Intelegensia dan pertimbangan akal manusia tentang dimensi kemaslahatan manusia itu sendiri. Dalam bahasa yang berbeda hakim tertinggi dari kemaslahatan Hukum atau kehidupan duniawi manusia bukanlah teks-teks keagamaan yang meragukan, tetapi bukti yang kuat dari akal dan dalil-dalil yang jelas.
Dalam uraiannya lebih lanjut At-Tufi juga menyebutkan kemaslahatan Hukum atau kehidupan duniawi manusia diketahui olehnya melalui cara-cara alami yang diberikan Tuhan kepadanya, dari pengalaman-pengalaman hidup manusia sendiri dan dengan tuntutan akalnya sendiri. Perlindungan terhadap kemaslahatan manusia dengan menolak kerugian yang di timbulkan aturan hukum atasnya adalah hal yang tidak terbantahkan di segala kondisi kehidupan umat manusia oleh karena itu ia merupakan hal yang telah jelas dengan sendirinya. Berbeda dengan teks, yang ketentuan-ketentuan hukum di dalamnya sarat dengan ambigiusitas, cacat secara historis karena di buat berdasarkan kepentingan konspirasi serta menggunakan tafsiran-tafsiran subjektif sehingga menjadikannya tidak meyakinkan untuk di gunakan sebagai sumber acuan hukum. Itulah sebabnya berulangkali At-Tufi menegaskan jika terdapat teks sakral yang merugikan kemaslahatan manusia, maka teks tersebut harus di kesampingkan demi melindungi kemaslahatan manusia. Berbeda dengan pola pikir kita saat ini yang mengedepankan kepentingan orisinalitas teks dibanding kemaslahatan manusia. Sebagian kita barangkali sepakat bahwa tindakan rajam sangat merugikan terhukum atau jika diberikan permisalan untuk merajam saudara kandungnya sendiri karena saudara kandungnya itu terbukti telah melakukan Zina (muhsan. maka secara emosional sebetulnya merasa enggan untuk melakukan hukuman tersebut, namun demi memenuhi tuntutan teks ,naluri kemanusiaan harus di kubur dalam-dalam karena dikhawatirkan jangan-jangan naluri tersebut tidak lain adalah hanya bisikan syaithan yang harus di hindari.
Pandangan semacam inilah yang di kecam habis-habisan oleh At-Tufi yang menyebut bahwa paham semacam ini merupakan bentuk penipuan diri (self deception). Sebab kita meninggalkan hukuman yang lebih maslahat yang sudah jelas, menuju pada tindakan hukum yang sudah pasti merugikan terrhukum dan belum tentu mendatangkan kemaslahatan umum. Tindakan yang merugikan bagi At-Tufi adalah termasuk dalam kejahatan, maka jika hukum menyangkalnya, otomatis kebaikan di tetapkan yaitu kemaslahatan umum. Demikian juga At-Tufi mengemukakan bahwa seruan Tuhan kepada manusia adalah bersifat umum maka situasi mendapatkan petunjuk yang aktual adalah bersifat khusus melalui cahaya kebenaran atau intelegensi.
Sejalan dengan kemungkinan ijtihad sosial manusia terhadap hukum duniawi ini, penting bagi kita untuk menyimak deskripsi singkat Ali Harb. Menurutnya, Ijitihad sosial ini justru sangat mungkin terjadi dalam kaitannya dengan keberagamaan seseorang, hal yang penting untuk di pahami dengan baik bahwa, makna Islam tidak hanya terbatas sebagai Agama, tetapi lebih dari itu, ia menunjukkan pada dunia kultural, bentangan peradaban, dan pengalaman pengalaman dalam Hukum. Karenanya ia menunjukkan pada seluruh yang mungkin di sifati sebagai islam (Ali Harb;2004). Penjelasan Ali Harb tersebut memberikan pengertian bahwa seluruh aktifitas keduniawian yang meliputi Ilmu pengetahuan dan juga dalam setiap profesi yang kita tekuni, sangat mungkin untuk melandaskannya pada kemandirian nalar pribadi kita dalam menyelesaikan persoalan persoalan keseharian tersebut, sekaligus memisahkannya dengan ketentuan-ketentuan Normatif Agama. Namun pada saat yang sama kita juga menolak untuk dikatakan telah mengabaikan Agama dalam menempuh keseharian hidup kita, sebab hal yang kita lakukan tersebut semata mata berlandaskan pengetahuan budi baik manusia yang mungkin di sifatkan pada Islam.
Berkaca pada apa yang telah di sampaikan para pakar Hukum Islam diatas maka sudah saatnya kita tidak lagi terpaku pada penerapan hukuman-hukuman yang mengutamakan kekerasan,sebab bagi bangsa yang sedang mencoba bangkit dari ketepurukan seperti halnya Aceh saat ini, hal yang semestinya di lakukan adalah dengan menciptakan iklim politik yang kondusif sekaligus memperteguh kekuatan kita dalam penataan perekonomian bangsa kearah yang lebih baik agar kemakmuran senantiasa terwujud di Aceh.
Kita sebagai manusia yang beradab juga di tuntut untuk selalu belajar dari sejarah umat-umat manusia di dunia. Pengalaman menunjukkan upaya Negara-negara di Afrika seperti halnya Sudan, Nigeria, Afghanistan untuk bangkit dari keterpurukan dengan menerapkan hukum-hukuman bersifat radikal bagi warganya dimana pada saat yang sama pemerintah gagal dalam menata perekonomian rakyat, maka yang terjadi adalah kekacauan yang lebih dahsyat dan pada akhirnya hanya akan mendatangkan kerugian bagi bangsa itu sendiri. Semoga apapun yang kita diskusikan dapat mendatangkan maslahat bagi rakyat aceh seluruhnya. Amin