Nasehat sang bijak ini akan menjadi penyejuk dan damai bagi semua umat manusia, jika saja mereka dapat memahami dan mengimaninya. Namun yang terjadi adalah sebaliknya manusia itu terlalu rakus untuk mendapatkan tanah, mereka akan selalu berusaha untuk terus memperbanyak tanah, baik secara halal maupun secara haram.
Masalah tanah juga yang telah menyebabkan jutaan muslim dibantai oleh Zionis Israel. Mereka diusir dari tanah leluruhnya dengan kejam, serdadu zionis akan membunuh siapa saja yang tidak mau menyerahkan tanahnya kepada Negara pendudukan tersebut, yang kemudian membangun pemukiman-pemukian Yahudi secara illegal dan bertentangan dengan kemanusian.
Beberapa tahun yang silam, ada ribuan orang tak berdosa juga harus mati tertembak atau dengan cara-cara lainnya, karena dicurigai ingin memisahkan kepemilikan tanah rencong dengan Negara kesatuan. Namun upaya peralihan kekuasan tanah endatu ini tidak dapat diwujudkan, karena tsunami telah menjadi pelajaran bagi mereka yang bertikai, hingga kemudian berdamai dengan suatu perjanjian bagi hasil dari tanah ini dalam bentuk lainnya.
Namun persolan tanah juga tidak selesai disitu saja, mungkin konteksnya akan lebih kecil. Beberapa warga (penduduk) desa di Kec.Lhong Aceh Besar, melakukan perlawanan dengan pemilik modal (investor) yang diduga merampas tanah mereka secara tidak sah alias tidak dibayar secara layak. Namun perlawanan mereka sepertinya tidak berpihak ke mereka, karena penguasa lebih membela para pemilik modal dibandingkan membela rakyat jelata yang tidak bermodal.
Masalah pertengkaran karena nafsu memiliki tanah, tidak hanya antara pemilik modal dengan rakyat jelata, tapi juga diantara para institusi Negara. Beberapa waktu silam, terjadi perang dimedia massa mengenai kepemilikan tanah wakaf (harta agama) Blang Padang. Blang (sawah) yang berada ditengah-tengah kota Banda Aceh tersebut, menjadi rebutan antara pemerintah Aceh dengan TNI (Tentara Republik Indonesia). Kita tidak pernah tau apa yang diinginkan dari Blang besar tersebut, apakah mungkin semua serdadu ingin dikubur disana, atau para penguasa negeri juga menginginkan hal sama. Padahal Tuhan tidak pernah melihat bahwa jika ia dikubur di Blang tersebut, maka ia mendapat predikat yang lebih baik dengan tidak dikubur di Blang Padang.
Namun apapun alasannya, persoalan tanah adalah persoalan yang tidak pernah selesai didiskusikan dan akan selalu menjadi petaka bagi umat manusia ini. Kemarin, diharian ini diberitakan bahwa rumah seorang warga dikota Sabang dibongkar paksa oleh TNI-AL karena tanah (HA, 21/06). Rumah yang dibongkar paksa tersebut dianggap berada di atas tanah yang tidak sah, meskipun Pengadilan yang merupakan lembaga yang berhak menyatakan sah atau tidak sah, belum mengeluarkan suatu fatwa terhadap kasus tersebut. Namun apa dikata, ketika rakyat berhadapan dengan penguasa yang kuat, maka ia menjadi lemah dan tak berdaya. Rumahnya telah hancur, dan anak-anaknya mungkin akan menjadi gelandangan. Negara yang seharusnya melindungi rakyat, tapi sebaliknya, mereka menyengsarakan rakyat. Kini, rumah Syahruddin telah dihancurkan, seperti kisah yang dialami oleh rakyat Palestina yang harus menatap keganasan Buldozer yang meratakan rumah mereka dengan tanah, dan kemudian mereka terusir dari tanah leluhurnya.
Kadang sebagai warga Negara Indonesia yang baik, kita bingung. Karena tentara sebagai alat pertahanan negara sebagaimana dinyatakan dalam UU No.24 Tahun 2004, pasal (6), yang menyatakan bahwa TNI sebagai alat pertahanan negara, berfungsi sebagai; (1) Penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa;(2) Penindak terhadap setiap bentuk ancaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan Pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan. Dalam kenyataanya lembaga ini seringkali tidak menjalankan fungsi dan peran-nya sebagaimana amanah undang-undang tersebut, tapi sebaliknya, menjadi ancaman bagi rakyatnya sendiri.
Beberapa tahun yang lalu, ketika tanah Indonesia, di Pulau Sipadan dan Ligitan diambil alih akan hak dan kepemilikannya oleh Negara Malaysia, pasukan pertahanan (TNI) hanya diam saja dan tidak melakukan perlawanan apapun. Padahal tanah itu sangat luas, dan mengandung berbagai sumber daya alam (hidrokarbon) yang sangat banyak. Secara ekonomis dan strategis tanah dipulau itu sangat layak untuk dipertahankan demi tumpah darah Indonesia. Namun, anehnya, ketika tanah yang tidak ada sertifikat dimiliki oleh rakyat kecil warga Negara Indonesia di Gampong Aneuk Laot yang hanya beberapa meter saja, yang tidak mengandung hidrokarbon apapun, pasukan pertahanan (TNI-AL) begitu gagahnya merebut tanah tersebut, dan rumah kecil dari papan untuk berlindung dari cuaca alam itu pun kita telah menjadi tumpukan kayu yang tak beraturan. Mereka telah ditelantarkan oleh Negara. Entahlah!!.