Terakhir, secara moral peristiwa ini sungguh memalukan karena dilakukan oleh aparatur yang relatif adalah tulang punggung penerapan Syariat Islam; serta memilukan dari sisi kemanusiaan karena telah memukul harga diri, martabat dan masa depan si korban. Padahal perempuan yang sedang menghadapi masalah hukum berhak atas perlindungan yang bermartabat seperti perintah Qanun 6/2009 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan, namun kok malah ditunggangi.
Mengingat hal ini bukanlah kasus pertama, maka menarik untuk dikritisi. Analisis ini mencoba melihat dari sisi bagaimana seseorang bisa tiba pada keputusan untuk melakukan tindak kriminal itu. Perlu saya tegaskan agar tidak menimbulkan salah tafsir, tindakan pemerkosaan itu JELAS sebuah pelanggaran dan pelakunya harus dihukum.
Namun ada dua sisi lain harus dilihat secara obyektif. Pertama, pada level makro peristiwa ini bisa menjadi bahan evaluasi bagi pemberlakuan Syariat Islam yang sudah memasuki usia 9 tahun, dan kedua, pada level mikro adalah kesadaran bahwa setiap individual WH sebenarnya adalah juga manusia biasa lengkap dengan instink-instink dasar yang melekat bersamanya, yang sudah pasti tidak bisa dijadikan alasan untuk impunitas.
Secara umum harus kita akui bahwa eksperimentasi politik ini berjalan sukses. Sayangnya tahapan untuk mencapai keberhasilan yang rendah tersebut harus ditebus dengan pengorbanan yang tidak seimbang, kekesalan dan sakit hati kelompok tertentu, persepsi ketidakadilan dan diskriminasi struktural yang juga dipraktekkan oleh kelompok tertentu serta beberapa cerita miris lainnya.
Penerapan Syariat Islam di Aceh masih terjebak pada tataran simbolik dan belum jauh menjamah wilayah-wilayah lain yang lebih esensial. Sebagai contoh, apa formulasi Syariat Islam yang bisa menjawab tingginya angka kemiskinan yang mencapai angka 28.6% (World bank, 2007), atau formula Syariat Islam tentang pemberdayaan ekonomi, penciptaan pemerintahan yang bersih dari segala bentuk penyelewengan kekuasaan, intransparan dan pola-pola inakuntabilitas lain.
Fokus syariat Islam masih berkutat pada isu-isu seperti khalwat, judi, maisir dan kesopanan pakaian wanita. Maka disana-sini demam Syariat lebih bercorak razia pelanggaran hal-hal diatas. Berita terakhir adalah razia celana perempuan di Aceh Barat yang secara latah diikuti oleh Bireun. Maka terjebaklah Syariat Islam dalam setting yang sempit.
Argumentasi soal hubungan pakaian dan peluang terjadinya kekerasan seksual dalam beberapa hal juga menjadi polemik. Beberapa study menunjukkan bahwa perkosaan tetap saja terjadi di beberapa negara Muslim di Timur Tengah. Logika ini menghantarkan kita pada sinyalemen Al-Quran bahwa ada kewajiban untuk menjaga fikiran bagi setiap orang tanpa membeda-bedakan jenis kelamin. Laki-laki juga harus menjaga fikirannya dari hasrat-hasrat animalis. Kekerasan seksual dan perkosaan tidak terjadi karena seorang perempuan berjilbab atau tidak, tetapi karena laki-laki yang memang memiliki visualisasi ganjil dalam cara mempersepsikan objek. Setiap objek normal bisa menjadi seksi bila persepsi yang dibangun adalah persepsi kenikmatan (pleasure).
Betul bahwa pakaian minim bisa menjadi salah satu stimulus, tetapi hal tersebut tidak cukup menjadi alasan suatu tindakan dieksekusi. Selalu ada rentang yang membatasi antara persepsi, sikap dan perilaku. Seperti catatan Ajzen & Fishbein (1985) tentang reasoned action, maka tidak selamanya yang dipersepsikan akan sesuai dengan sikap, dan tidak semua yang sesuai dengan sikap akan mengarahkan pada tingkah laku.
Pada level individual, kemampuan mengontrol fikiran inilah yang tidak dimiliki oleh siapa saja pelaku kejahatan seksual. Wa bil khusus untuk aparat WH, mereka adalah juga kelompok yang berpotensi untuk melakukan kejahatan. Jangan salahkan bila tafsir syariat Islam lebih terfokus pada soal khalwat, maka perhatian aparat WH dengan sendirinya akan lebih terfokus pada soal khalwat. Menggunakan konsepsi information processing approach, McGuire (1968) menjelaskan bahwa semua keputusan selalu dimulai dengan ekspose yang disimpan dan dikonsolidasikan dalam otak, lalu kapan saja bisa di recall untuk kepentingan eksekusi tindakan.
Lebih jauh, Stang (1975) menambahkan bahwa ekspose yang berulang-ulang (repeated exposure) akan meningkatkan kesempatan untuk mengenal lebih jauh tentang subject rangsangan (stimulus). Untuk konteks iklan makanan-minuman, mereka yang terus-menerus membaca iklannya memiliki potensi 80% lebih besar untuk mengenali dan mengkonsumsi produk tersebut. Sayangnya karena keterbatasan maturitas seringkali orang tidak mampu menyikapi stimulus yang ada secara proporsional. Dalam konteks peristiwa perkosaan tersebut, hal ini terjadi karena aparatur WH yang miskin ilmu agama, belum matang secara kejiwaan dan emosional, masih remaja dan labil, bahkan belum berkeluarga, sementara setiap hari fikiran mereka diisi oleh bayang-bayang muda-mudi yang bermesraan, berangkulan dan seterusnya.
Karena itu, antisipasi terhadap kekerasan seksual dalam hal ini harus diarahkan pada soal kontrol atas fikiran. Menseleksi stimulus mana yang harus diproses dan stimulus mana yang dilupakan. Memilih dan mengontrol informasi mana yang harus diproses lebih dahulu dan diproses selanjutya berdasarkan kebutuhan pragmatis termasuk juga pertimbangan moralitas.
Proses memilih dan mengontrol ini bukan sesuatu kita terima by product, sudah terbentuk dan mewujud apa adanya, tetapi harus kita dapat by process, yang dalam hal ini melalui latihan-latihan tentang mana yang harus difikirkan dan mana yang harus tidak difikirkan (switching). Sehingga fikiran bisa bekerja secara otomatis yang oleh Posner & Snyder (1975) dicirikan dengan tiga indikator penting seperti terjadi tanpa dikehendaki, tanpa melibatkan sistem kerja alam kesadaran, dan tidak diselingi atau di interupsi oleh aktivitas mental lainnya.
Karena itu, seluruh aparat WH wajib dan harus mampu mengontrol dirinya, sebelum mengontrol orang lain. Dan kontrol diri itu bermula dari kontrol atas fikiran dan kesadaran diri. Maka untuk konteks mendesak memang harus ada evaluasi mendasar dalam hal rekrutmen pada WH, pembinaan termasuk juga penertiban semua personil yang ada. Mereka yang direkrut adalah kandidat-kandidat yang matang secara keilmuan khususnya ilmu agama –dan khususnya matang dalam hal kejiwaan. Bila tidak, maka pelanggaran terus berulang.
Dan yang jauh lebih penting adalah kesadaran serta kemauan kita semua untuk sama-sama melahirkan Syariat Islam yang humanis. Jangan bebankan semua kepada Dinas Syariat Islam dan WH semata, sebab dalam diri setiap kita juga ada tanggung jawab, faktanya WH juga bukan orang-orang isitimewa, bukan malaikat, tetapi sama dengan diri kita. Bila sepakat MARI sama-sama berbuat, atau jangan-jangan kita termasuk dalam kelompok facebookers khalwat itu nikmat [Dasar]