Aceh Damai Dalam Keberagaman (Refleksi Hari Perdamaian Dunia )

0
149

Hari ini, tepatnya 21 september 2013, seluruh masyarakata dunia memperingatinya sebagai hari perdamaian dunia. Hari perdamaian dunia menjadi penanda bagi seluruh masyarat dunia betapa pentingnya kerukunan dan keharmonisan dalam segala keberagaman dan perbedaan di dunia Hanya dengan damai dunia akan terjaga dari segala benturan-benturan yang melahirkan kekerasan. Damai harus mewabah, menjalar dan menjangkiti seluruh pelosok bumi, di seluruh nama-nama yang termaktub dalam peta bumi agar kita semua langgeng membangun peradaban bumi yang humanis, harmonis dan menyejukkan. Kita semua tentu sangat khawatir, bahwa akhir-akhir ini, dekade-dekade peradaban manusia diliputi ketegangan demi ketegangan, yang berpotensi mengancam peradaban manusia itu sendiri, obat mujarab dan ampuh bagi semua itu hanyalah damai, pesan-pesan damai yang harus kita sampaikan kepada dunia adalah sama pentingnya dengan kita menghirup udara untuk bernafas, damai adalah matahari kita dan damai adalah bentangan langit malam kita yang penuh bintang dan purnama.

Menyelami hakikat damai, maka kita tidak hanya membaca dan merasakan damai sebagai sebuah kondisi dan situasi dimana tidak adanya konflik dan tidak adanya kekerasan, tapi situasi damai yang sebenarnya adalah sebuah kondisi dan keadaan dimana hak sosial politik dan hak ekonomi sosial budaya dari setiap warga negaranya apapun agama, keyakinan, suku, latar belakang budaya, ras, etnis dan kelas sosialnya, di jamin, di lindungi dan ditegakkan oleh negara maupun diantara sesama warga negara. Semua punya hak untuk merasakan dan menikmati damai yang sebenarnya dan ketika itu belum terpenuhi, adalah tugas dan kewajiban dari setiap kita untuk berikhtiar dengan segala daya dan upaya agar damai yang hakiki terus terwujud, karena jika damai yang hakiki belum terwujud, maka selama itu pula sejarah akan akan terus melahirkan anak-anaknya sebagai orang-orang tercerahkan yang akan terus mewujudkan damai demi damai dalam setiap gerak, langkah dalam keseharianya.

Keharusan sejarah ini juga, yang dilakukan oleh berbagai elemen sipil di Aceh, yang terdiri dari YAB, Flower, RpuK, AWPF, HAKKA, Saree School, ACSTF, KAPHA, PULIH, Rumah Yatim, FIRL, The Aceh Institute, Sekretariat Balai Syura, Sekretariat Koalisi NGO HAM, KontraS, Young Voice, PKBI, FKKADK, Mutiara Keluarga, dengan niat yang tulus dan ikhlas untuk terus menjaga damai Aceh abadi selamanya seperti padi-padi yang terus menguning untuk memberi makan banyak orang, elemen sipil ini menggelar sebuah perhelatan kampanye lintas agama, etnis dan budaya Aceh Damai dalam Keberagaman, pada minggu, 22 September 2013. Ini adalah bagian dari kerja besar membangun peradaban Aceh kedepan, peradaban yang kosmopolit, bukan peradaban yang rigid yang hanya bertumpu pada relasi mayoritas-minoritas dan superior-inperior. Peradaban kosmopolit adalah peradaban dalam keberagaman, sejarah juga membuktikan semua peradaban yang dibangun dalam ketunggalan, punah dan hanya menjadi peninggalan sejarah saja, tetapi peradaban yang dibangun dalam keberagaman, akan terus bertahan, akan terus hidup dalam hati dan pikiran manusia karena mengayomi banyak orang dalam relasi kesetaraan.

Kampanye Aceh damai dalam keberagaman ini berlansung dari pagi sampai sore hari, bertempat di museum tsunami Aceh yang dirangkai dengan beberapa kegiatan, yaitu atraksi seni multikultural berbagai, Aceh,Batak, Papua, Jawa, Sunda, Minang, Gayo dan Chinese seperti kolaborasi liong barongsai dan tarian kipas, Pembacaan Puisi, rapai geleng inong, musikalisasi puisi, musik rege, ranup lampuan, tari indang dan dilanjutkan dengan pawai budaya dengan pakaian adat berbagai daerah di nusantara dan berbagai komunitas kreatif di kota Banda Aceh juga disertai orasi Aceh damai dalam keberagaman oleh dua tokoh perempuan yaitu Alissa Wahid, Putri Alm. Gus Dur (mantan presiden Republik Indonesia dan negarawan dunia) dan Suraiya Kamaruzzaman. Alissa adalah juga ketua umur jaringan Gusdurian Indonesia yang sangat aktif mengkampanyekan kesetaraan dalam keberagaman di seluruh Nusantara sedangkan Suraiya Kamaruzzaman adalah tokoh perempuan Aceh yang terpilih mewakili Indoensia sebagai penerima N-peace award perempuan perdamaian tahun 2012.

Sebelum memulai pawai, terlebih dilakukan pembacaan deklarasi bersama Aceh damai dalam keberagaman, kemudian dilanjutkan dengan penabuhan rapai perdamian dan pembakaran obor perdamaian yang dibawa berkeliling oleh peserta pawai dengan diiringi tabuhan rapai sepanjang perjalanan, dengan rute pawai di mulai dari Gedung Museum Tsunami , Jl. Iskandar Muda, Jl. Prof. A. Madjid Ibrahim, Jl. KH. Ahmad Dahlan, Jl. Dipenogoro, Jalan Depan Mesjid Raya, Simpang Kodim, Jln. Moh. Djam, Jln. Balai Kota, Simpang Jam dan kembali berkumpul di Gedung Museum Tsunami.

Tujuan dari kampenye ini adalah sebagai bagian dari menyuarakan perjalanan perdamaian di Aceh melalui simbol Rapai perdamaian dan kampanye perdamaian di Indonesia melalui Obor perdamaian, juga untuk Menggugah kesadaran masyarakat dan generasi muda tentang Aceh yang multikultural dan pentingnya penghargaan terhadap keberagaman untuk menjaga keberlangsungan perdamaian dan menyediakan ruang bagi masyarakat lintas etnis, agama, budaya dan komunitas untuk beriteraksi dan mengekpresikan pandangannya menyangkut perdamaian, keberagaman dan toleransi.

Pada hari senin, 23 September 2013, sebagai rangkaian dari kampanye ini, juga dilakukan dialog pemuda-pemudi Nusantara bertempat di Balaikota Banda Aceh dengan tema damai Aceh dalam keberagaman, dengan peserta para pelajar tingkat menengah atas di Kota Banda Aceh, berbagai elemen pemuda yang berada di OKP dan Ormas, dan juga pemuda-pemudi lintas Agama, adat dan budaya. Dialog ini digagas sebagai bagian dari mentransformasikan pentingnya menjaga keberlansungan perdamaian Aceh ditengah keberagaman yang ada, karena generasi muda ini adalah penerus gerak dan langkah negara Indonesia di masa mendatang. Dialog ini juga dihadiri oleh para pemuda dari Nusa Tenggara Timur, Yogyakarta dan Jakarta. Banyak sejarah dan jalan damai Aceh yang akan disampaikan pada dialog ini oleh tokoh-tokoh seperti Alissa Wahid, Bondan Gunawan yang merupakan mantan Menseneg era pemerintahan Gus Dur, yang tahu banyak tentang sejarah damai Aceh yang dirintis oleh Gus Dur juga menghadirkan Nia Sjarifuddin, sekretaris jenderal Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), yang juga sangat aktif berkeliling Indonesia untuk mengkampanyekan pentingnya menjaga damai dalam keberagaman.

Apa yang dilakukan ini adalah ikhtiar untuk membangun masa depan Aceh dan sekaligus juga membangun peradaban masa depan. Tentu Aceh uga tidak bisa melepaskan diri dari konteks dunia (global) masyarakat dunia masa depan adalah masyarakat multikutur dan masyarakat Aceh masa depan adalah masyarakat multikultur, ini sesuatu yang tidak bisa dihindari, oleh karena itu damai dalam keberagaman adalah syarat utama mengisi kontestasi Aceh dalam peradaban dunia yang multikultur. Era dunia kedepan adalah era kebersamaan manusia, era ini tidak lagi berbicara siapa saya dan siapa anda, tetapi siapa kita dan bagaimana kita dan apa yang akan kita perbuat untuk kedamaian dunia ini, inilah sebuah realitas dan konteks masyarakat multikultur.

Masyarakat multikultur adalah Masyarakat yang bisa menerima dan merayakan perbedaan dan keberagaman Agama, Keyakinan, Suku, Adat Istiadat, Budaya secara bersama-sama dan harmonis dalam semangat toleransi yang tinggi dan anti kekerasan serta berpegang teguh pada prinsip-prinsip pikiran dan tindakan yang mengutamakan penghargaan dan penghormatan terhadap martabat manusia dalam segala keberbedaannya, inilah model masyarakat sebagai sebuah syarat bagi kemajuan Aceh, model masyarakat yang sangat kita butuhkan kedepan. Memperingati hari perdamaian dunia dengan menggelar kampanye Aceh damai dalam keberagaman adalah menempatkan Aceh sebagai salah satu bagian dari saripati peradaban dunia.

Bagi Aceh, keragaman agama, suku, budaya dan kelas sosial telah ada sejak sejarah manusia dimulai di Aceh. Segala keragaman yang ada di Aceh adalah juga sebuah karunia dan rahmat yang harus dijaga dan dikelola dengan baik. Sekalipun Aceh untuk konteks kekinian adalah sebuah daerah yang punya kekhususan tersendiri yaitu Syariat Islam. Namun, konteks syariat Islam tidaklah bermakna membangun, menjaga dan mengelola keberagaman beradasarkan relasi mayoritas-minoritas dan superior-inperior tetapi tentunya berdasarkan relasi kesetaraan sebagai sesama warga negara yang punya hak dan kewajiban yang sama. Konflik yang mendera Aceh puluhan tahun, telah berlalu, berganti menjadi damai sebagai sebuah anugerah dari Yang Maha Kuasa yang harus kita jaga bersama-sama. Damai di Aceh dan damai Indonesia adalah dambaan kita semua, sementara keberagaman juga tak bisa kita tolak. Damai dalam keberagaman di Aceh adalah sebuah kekayaan dan modal terbaik yang senantiasa harus terus kita komunikasikan, kita dialogkan, kita pertemukan dan kita alami bersama-sama sebagai modal terbaik membangun kejayaan Bangsa. Hanya dengan damai kita bisa membangun peradaban kita. Damai adalah keinginan dan harapan kita semua dan keberagaman adalah juga keniscayaan kita, satukan keduanya, maka damailah Aceh, damailah negeri kita selamanya.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.