Aturan Islam yang dibalut dalam paket syariat Islam dan diversikan sesuai dengan sifat ke-Acehan belum sepenuhnya didukung oleh berbagai komponen. Ketakutan terhadap paradigma Islam yang jumud ( statis) serta berbagai asumsi keterbelakangan perempuan menjadi objek pengingkaran formalisasi syariat Islam di Aceh. Selain itu, seiring dengan fenomena qanun jinayat yang sedang beredar, isu HAM kentara sekali mencuat menjadi landasan penolakan syariat Islam.
Penulis sendiri tidak pernah habis pikir. Dalam konsep poligami dimana seorang laki-laki memiliki dua orang isteri yang sah dan berlangsung secara islami, banyak pihak mencela dan menolak, padahal poligami adalah bagian dari Islam. Sementara dalam kasus rajam yang terdapat dalam qanun jinayat mereka menolak habis-habisan. Padahal lazim kita ketahui, hubungan orang yang akan terkena rajam adalah hubungan perzinaan yang sudah jelas tidak baik di depan hukum Islam dan hukum positif.
Hukuman rajam dalam Islam dikhususkan bagi seorang muhshan yang berzina. Muhshan sendiri berarti lelaki atau perempuan yang telah menjaga kehormatannya dengan menikah. Muhshan itu sendiri memiliki akar makna melindungi diri. (Ibn Mandhur dalam Lisan Arab, hal. 120 jilid XIII).
Qanun jinayat secara yuridis merupakan amanat dari undang-undang no. 11 tentang Pemerintah Aceh pasal 125 ayat (1), (2), dan (3) yang berbunyi: Pelaksanaan syariat Islam di Aceh meliputi bidang akidah, syariat dan akhlak. Oleh karena itu, secara yuridis dan sosiologis, rajam sah menurut undang undang karena dikhususkan bagi pemerintah Aceh dan syariat Islam serta furu(cabang) hukumnya diterima bahkan permintaan masyarakat.
Draft hukum acara qanun jinayat Pasal 24 sendiri menyebutkan bahwa hukum rajam diberlakukan bagi sanksi penzina yang muhshan dan disesuaikan dengan mekanisme dan aturan yang telah ditetapkan dalam pasal-pasal sebelumnya dengan memenuhi segala kriteria keabsahan suatu hukum.
Pandangan ulama terhadap hukum rajam
Dalam kitab Mughni Muhtaj, salah satu pegangan dalam mazhab Syafii, Khatib Syarbaini menerangkan bahwa rajam adalah hukuman bagi penzina yang sudah menikah berdasarkan ijma ulama. Selain itu banyak hadits yang berkaitan tentang jinayat rajam bagi pelaku zina di masa Rasulullah seperti peristiwa yang rajam yang diberlakukan kepada Maiz dan Ghamidiyah. ( Khatib Syarbaini, Mughni Muhtaj hal. 184 jilid IV).
Demikian juga padangan imam Syaukani dan Ibn Arabi dalam Nail Al-Authar yang menjelaskan bahwa rajam adalah uqubat (sanksi) bagi pelaku zina muhshan. Namun mereka juga menyebutkan pendapat golongan Khawarij dalam kitab Al-Bahri dan sebagian Muktazilah yang menantang adanya rajam. Lebih lanjut Ibn Qudamah dalam Al-Mughni menukilkan pendapat Umar yang mengatakan bahwa rajam adalah hak terhadap suami isteri yang berzina, merujuk kepada hadis Rasul, tidaklah halal darah seorang muslim kecuali tiga perkara; di antaranya adalah berzina setelah menikah. (Ibn Qudamah, Al-Mughni hal 122 jilid X) Hadis penghalalan darah ini juga sejalan dengan hadis Rasul lain yang menyebutkan bahwa tidak berzina seorang Muslim melainkan dalam keadaan ia melepas keimanannya.
Imam Syaukani dalam Nail Al-Authar menyebutkan tidak kurang dari enam hadits yang menjadi landasan penetapan rajam. Selain itu juga terdapat Ijma shahaby, yaitu pengakuan para sahabat yang tidak membantah perkataan Umar ketika ia berkhutbah, Di antara apa yang diturunkan kepada Rasulullah adalah ayat rajam, kami membacanya, menghafalnya, Rasul melaksanakannya dan kami juga melaksanakannya. Pengakuan sahabat dengan tidak menyanggah pendapat Umar adalah salah satu bentuk landasan hukum bagi sebagian ulama yang di dalam literatur Islam dikenal dengan Ijma Sahabat.
Ketika kita menghendaki hak kita dijamin oleh Allah, hendaknya kita menunaikan hak-hak Allah. Adalah hak Allah jika kita beribadah dan patuh terhadap segala ketetapannya, maka jika kita melanggar hak Allah, bukanlah suatu hal yang aneh jika Allah meminimalisir hak kita, apalagi perbuatan zina adalah sangat tercela, konon lagi jika dilakukan oleh orang yang sudah pernah menikah.
Pelaksanaan hukuman rajam tidaklah semudah dugaan kita, banyak syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi agar hukuman rajam dapat dimaksimalkan. Sebagai bukti kasih sayang Allah dan tadarruj (kesinambungan) dalam hukum. Oleh karena itu, sebelum memasuki sisi aplikatif harus dikaji terlebih dahulu kelayakan hukum dan kesiapan masyarakat dalam mengimplementasikan aturan tersebut. Namun perlu dipahami juga bahwa ini bukan sebagai sebuah upaya desakralisasi wahyu dan hadis nabi.
Rajam adalah titah Tuhan bagi manusia sebagai penggerak roda kehidupan. Sanksi yang terdapat di dalam Islam tidak lain adalah sebagai upaya membentuk sebuah kehidupan yang ber-tamadun. Dengan tetap memelihara tujuan dari sebuah hukum dan maqashid asy-syariyah ( tujuan pembebanan hukum), walaupun terkadang tidak masuk dalam tataran akal karena keterbatasan logika kita. Oleh karena itu, selayaknya kita beriman dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. Karena pandangan dan pemikiran yang berdasar kepada sanubari lebih memberi jalan petunjuk.
Jika Rasul pernah menegaskan, berimanlah semampu kamu, ini menunjukkan kelonggaran yang ditunjukkan dalam Islam. Selayaknya kita memaknai hadis tersebut dengan kondisi lapangan penerapan syariat Islam di Aceh. Sosialisasi yang lebih mendalam ditambah dengan pemberian pemahaman pada masyarakat perlu ditingkatkan, agar qanun yang sesuai dengan syariat Islam bukan dianggap sebagai upaya cet langet tapi juga bisa membumi. Jangan beragama dengan terpaksa, karena apa guna amalan yang banyak jika tidak didasari dengan keikhlasan dalam beramal.