Jikalau ada jawaban atau bantahan dari pihak-pihak tertentu atas tulisan ini sangat diharapkan sebagai bagian menjunjung tinggi proses dialektika, pencerdasan, dan transfer informasi ke publik.
Sebagaian orang belum memahami apa itu KKR. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah fenomena yang timbul di era transisi politik dari suatu rezim otoriter ke rezim demokratis, terkait dengan persoalan penyelesaian kejahatan kemanusiaan yang dilakukan rezim sebelumnya (Asplund, D. Knut dkk., 2008, h.364). Pandangan lain mengatakan KKR merupakan satu upaya perwujudan transitional juctice (Soeprapto, 2003, h.1).
Tidak permanen
Pandangan saya, KKR merupakan lembaga pembantu atau sampiran yang dibentuk dan bekerja untuk menjalankan fungsinya di bidang hak asasi manusia (HAM). Dimana umumnya lembaga KKR tidak permanen atau bersifat ad hoc. Sekali lagi, menurut saya KKR tidak bisa menggantikan fungsi dari pada institusi pengadilan, karena KKR bukan badan peradilan, bukan lembaga yang mendahulukan penegakkan hukum, KKR melainkan mencari perdamaian.
Di samping itu bukan lembaga yang berhak mengirimkan seseorang masuk dan tidaknya ke penjara, serta memiliki fungsi memvonis hukum terhadap pelaku pelanggaran HAM. Jadi KKR hanya berada memberikan penguatan dari data-data pelanggaran HAM untuk merekomendasikan kepada institusi pengadilan HAM. Teknis memperoleh data-data melalui penyelidikan kasus-kasus dan tidak dibatasi pada kepada penanganan sejumlah kasus kecil saja.
Jika mencermati proses pembuatan Qanun KKR Aceh, landasan dari DPRA tentunya harus berpedoman kepada Qanun No.3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembuatan Qanun. Lalu tahapan pembuatan draf akademis, uji kelayakan draf akademis, rapat dengar pendapat umum (RDPU), dan sosialisasi masif. Apakah keseluruhan rangkaian tahapan itu sudah melibatkan partisipasi dari para korban pelanggaran HAM? Mungkin di sinilah letak plus-minus Qanun KKR Aceh yang telah disahkan itu.
Mirisnya saat ini publik memiliki kesan dalam proses pembuatan Qanun KKR Aceh kurang transparan dan tidak mampu membangun partisipasi aktif dan sosialisasi tidak optimal. Jangan hanya sebatas satu atau dua kali RDPU dirasakan cukup, bagaimana mungkin publik Aceh lainnya mengetahui isi produk Qanun KKR Aceh tersebut. Apakah sebelumnya sudah dilakukan sosialisasi maksimal draf Qanun KKR Aceh melalui berbagai media yang ada di Aceh? Maka tidak heran jika kita lihat nanti ada pihak-pihak yang memprotes secara militan dan besar-besaran. Benar jika argumetasi mengatakan: Wajar ini kan proses berdemokrasi, dalam mengeluarkan kebijakan pasti ada pro dan kontra.
Harus diingat jika berlebih bisa mengganggu stabilitas keamanan dan perdamaian Aceh. Ataupun belum selesainya dalam hal paradigma pemahaman terbutakan kepada kepentingan politik dan ekonomi semata-mata dalam pembuatan setiap qanun yang dikerjakan DPRA. Apalagi dihadapi menjelang momentum pemilu dan pengelolaan anggaran yang miliaran rupiah tersebut. Tentunya makin tergiur dan mempercepat pengesahannya. Anehnya mengapa tidak pada 2010 atau 2011 ataupun 2011.
Jika dipelajari lebih detail isi konten Qanun KKR Aceh masih banyak harus direvisi lagi Qanun KKR Aceh. Menariknya lagi hasil daftar inventaris masalah (DIM) yang dilakukan elemen masyarakat sipil menemukan Pasal 3 tentang tujuan pembentukan KKR Aceh, dimana tidak memandatkan tujuan KKR Aceh merekomendasikan pelaku pelanggaran HAM ke pengadilan HAM Aceh. Bahkan di Pasal 8 point h dan i hanya sebatas melaporkan, tidak merekomendasikan ke pengadilan HAM.
Di sini lemahnya point kewenangan KKR Aceh sangat lemah terlihat tidak ada pasal yang menjelaskan hal tersebut. Kewenangan terdiri mampu memanggil, dan menghadirkan pihak-pihat pelaku pelanggaran HAM dan korban untuk didengarkan keterangannya guna mendapatkan informasi. Maka perlu juga memasukkan kewenangan penyelidikan dan pengumpulan informasi.
Terkait kewenangan KKR Aceh sebagaimana tertuang dalam Pasal 13 sangat jelas diarahkan untuk membuat permanen lembaga KKR. Padahal KKR bukan lembaga permanen, tapi lembaga pembantu dan sampiran. Kemudian Pasal 19 menjelaskan cakupan luas kerja KKR Aceh pada kasus pelanggaran HAM dalam kurun waktu 1976-2005. Ini tentu akan membuat kerja KKR Aceh tidak fokus dan kehabisan energi dan biaya besar. Harus juga melibatkan komponen masyarakat sipil lainnya, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), wartawan, dan lain-lain. Tujuan untuk membantu kerja-kerja KKR Aceh.
Pasal 36, dimana pasa ini terkesan memberikan ruang yang luas kepada Wali Nanggroe untuk membuat kebijakan soal rekonsiliasi. Point ini berpotensi menghadirkan transaksional politik mengingat posisi Wali Nanggroe masih mengundang perdebatan di pusat. Lain lagi temuan di Pasal 26, dimana pasal ini menghadirkan kesan bahwa bantuan sebelumnya bisa diklaim sebagai bagian dari kerja-kerja Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota dalam memberikan reparasi kepada korban konflik di Aceh. Penambahan badan baru pasca-terbentuknya KKR Aceh terlihat di Pasal 28 untuk mengurusi reparasi. Berarti menambah beban berat anggaran dan tumpang tindih, serta fungsi dari KKR Aceh itu sendiri, termasuk kemungkinan terjadinya korupsi anggaran.
Komisioner KKR
Kelemahan lain dari draf Qanun KKR Aceh adalah tidak adanya pasal yang menyatakan perlindungan untuk saksi korban. Harusnya terdapat pasal yang menyebutkan keterlibatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai lembaga yang berwenang memberikan perlindungan kepada saksi dan korban. Tambah lagi dalam konten Qanun KKR Aceh tidak menyatakan pelaku pelanggaran HAM tidak boleh menjadi komisioner KKR Aceh.
Jika tidak, maka tidak menutup kemungkinan dijabat oleh pelaku pelanggaran HAM. Bukan makin baik manajemen KKR, maka semakin runyam. Ditambah lagi mekanisme pengawasan dan hasil harus dilibatkan pihak dari institusi LPSK, Komnas HAM, dan lain-lain. Jika tidak, bisa jadi hasil kerja tidak terkontrol berujung pada kesia-siaan saja.
Akhirnya, mari menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan bagi korban, bukan memarginalkan dan memanfaatkan diatas hak-hak korban pelanggaran HAM di Aceh. Kunci terletak pada komitmen, transparansi, partisipatif, dan akuntabilitas, dan keikhlasan bekerja bagi hak-hak korban pelanggaran HAM. Bukan mengambil keuntungan politik dan ekonomi atas hak-hak mereka.
OPINI INI TELAH DIMUAT DI HARIAN SERAMBI INDONESIA SELASA, 7 JANUARI 2014