Awalnya, hanya Amerika yang gencar memberikan trademark teroris bagi Indonesia, yakni saat peristiwa bom Bali. Seiring masa, pemerintah Indonesia dan para pejabat, termasuk unsur Polri/TNI pun ikut-ikutan mengatakan bahwa di Indonesia telah bersarang teroris. Akibatnya, setiap tindak kejahatan yang terjadi di Tanah Air, mulai dari kota-kota besar hingga ke pelosok, selalu disebut-sebut pelakunya adalah teroris. Sadar atau tidak, pemerintah, pihak keamanan, termasuk media, sedang berusaha mengatakan pada dunia bahwa di negara ini banyak teroris. Singkatnya, negara ini memelihara teroris. Beda dengan Amerika, sebutan teroris bukan bagi orang-orang bangsanya.
Bermain Isu
Bagi sebagian politisi, teroris dapat menjadi isu paling berharga dan bermakna. Misalkan saja mereka yang sedang dijerat undang-undang korupsi, munculnya isu teroris kemudian jadi papan sandar yang elok untuk meredam isu korupsi tersebut. Padahal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri pernah berjanji akan menjadi komandan pemberantasan korupsi di Tanah Air. Munculnya kata teroris telah mengalahkan kata korupsi.
Setahun terakhir saja, isu teroris selalu mencuat saat-saat gentingnya pembahasan terhadap pelaku korupsi. Isu teroris hanya sempat redam dua bulan oleh isu video hot-nya Ariel-Luna-Cut Tari. Setelah itu, media kembali menyuguhkan berita-berita terorisme. Kesannya, teroris sebagai kanter isu terhadap isu-isu lain.
Upaya pengalihan isu berlabel teroris ini sebenarnya mirip dengan pengalihan isu masa-masa Presiden Soeharto. Bedanya, zaman Orde Baru (Orba), ketika ada ketimpangan di tubuh pemerintahan, isu yang berhembus adalah si fulan PKI. Artinya, isu PKI masa Orba kini berubah menjadi isu si fulan teroris masa Kabinet Indonesia Bersatu.
Belum puas dengan kebanggaan Indonesia pada dunia bahwa negara ini menyimpan penjahat teror, isu teroris dipersempit pula pada tataran etnis. Beberapa etnis di Tanah Air disebut-sebut menjadi wadah munculnya teroris. Sepanjang tahun 2010 saja, ada dua etnis yang kerap disebut-sebut sebagai teroris. Pertama teroris Jawa; kedua, teroris Aceh.
Pemerintah maupun pihak keamanan tidak pernah menyadari bahwa penyebutkan kata teroris yang diikuti dengan nama etnis tertentu telah melukai segenap warga Indonesia, terutama mereka yang tergolong ke dalam etnis tersebut. Kesannya, pemerintah dan Polisi sedang melakukan diskriminasi etnis. Dalam hal ini, media juga patut bertanggung jawab, karena ikut-ikutan menyebarkan berita berlabel teroris etnis.
Bulan-bulan pertama dalam tahun ini merupakan gaungnya teroris dilekatkan pada etnis tertentu. Karena Polisi yang tergabung dalam Detasemen Khusus (densus) 88 berhasil menggerebek tempat latihan orang-orang bersenjata di Aceh, muncul ungkapan teroris Aceh. Polisi maupun pers sangat gemar dengan sebutkan ini. selanjutnya, ketika Gubernur Aceh, Irwandi, mengatakan bahwa yang latihan di hutan Aceh berasal dari Jawa, muncul pula teroris Jawa yang ke Aceh. Intinya sama saja, menyebutkan etnis tertentu sebagai teroris, yang padahal kejahatan tersebut hanya dilakukan oleh beberapa orang dalam jumlah yang sangat kecil dibandingkan masyarakat etnis tersebut. Inilah yang saya sebut di atas, pemerintah, pihak keamanan, dan media massa, telah melukai hati etnis tertentu dengan isu teroris. Konyolnya, pemerintah tidak pernah berpikir bahwa sebutan teroris Aceh dan teroris Jawa dapat menimbulkan konflik baru, karena dua etnis ini memiliki kenangan panjang.
Label teroris etnis yang belum hilang sampai sekarang bahkan semakin dianggap penting adalah teroris Aceh. Jikapun terjadi penggerebekan atau penangkapan terhadap pelaku kejahatan di Medan, Sumatera Utara atau di daerah lain, selalu polisi mengaitkannya dengan teroris Aceh yang mengesakan Aceh sebagai ladang teroris. Pemerintah pun senang dengan label tersebut sehingga tak ada upaya mengantisipasi makna bias yang ditimbulkan oleh frasa teroris Aceh itu.
Teroris Aqidah
Karena kata teroris memang pertama sekali dipopulerkan oleh Amerika yang umum penduduknya bukan muslim, label tersebut hanya dilekatkan pada orang atau kelompok muslimin. Hal ini sudah mulai ditunjukkan dalam film-film buatan Amerika, bahwa pelaku teroris selalu diperankan oleh tokoh yang beragama Islam.
Indonesia kemudian mencontohnya. Beberapa yang berhasil ditangkap ataupun ditembak mati, yang menurut polisi adalah teroris, selalu dikait-kaitkan dengan kata jihad. Di sini, sedang terjadi monopolisasi aqidah terhadap kata teroris. Akibatnya, pemuka-pemuka agama Islam atau orang-orang yang senang dan sedang belajar Islam secara tekun mulai dicurigai sebagai teroris.
Apa yang menimpa Ustaz Ghazali, 19 September kemarin adalah contoh monopolisasi teroris atas nama aqidah. Dengan alasan bahwa Ghazali merupakan seorang ustaz dan sedang mendalami Islam secara khafah, ia ditangkap dengan tuduhan teroris. Konyolnya, Densus 88 tidak memiliki asas praduga tak bersalah dalam melakukan aksinya. Begitu sampai di rumah Ghazali, densus langsung main tembak membabi buta, meskipun mereka sadar tidak ada tembakan perlawanan. Tak cukup sampai di sana perilaku asusila oknum Densus 88, mereka juga membatalkan secara paksa salat magrib Ghazali. Selanjutnya, lelaki malang itu diseret ke luar dan diinjak-injak di depan umum. Setidaknya begitu kata berita.
Dengan demikian, banyak undang-undang yang dilanggar Densus 88, mulai undang-undang kebebasan menganut dan menjalankan ibadah sesuai agama masing-masing, UU No.23/2003 tentang Hak Anakkarena Ghazali diinjak-injak di depan anaknyasampai UU dan kode etik kepolosian yang seharusnya menganut prinsip praduga tak bersalah terlebih dahulu.
Pertanyaan adalah mengapa pemerintah belum mengambil tindakan terhadap Densus 88, sedangkan kejadian serupa ini sudah berlangsung bukan sekali? Setidaknya, Presiden dapat memanggil Kapolri, memberikan peringatan, tidak tertutup kemungkinan meninjau kembali kepentingan Densus 88 tersebut. Hal ini penting jika memang SBY menolak bahwa perburuan terhadap teroris di Tanah Air ada intervensi pihak asing semisal Amerika, seperti tersiar di publik. Di sisi lain, perilaku anggota Densus 88 dalam menegakkan hukum sama sekali bukan perilaku polisi Indonesia umumnya.